Love Story

"Jadi yang mana dia?"

"Oh, aku tidak ingin membicarakannya." aku sedikit kesal pada laki - laki itu.

Dan sekarang dia malah mendekatkan wajahnya kepadaku dan tersenyum ceria. "Kenapa kau tak mau menunjukkan laki - laki itu?"

"Oh, dear..."

Laki - laki itu menarik kursi di depanku dan mendudukinya. Sejujurnya, itu kebiasaannya. Ya, menarik kursi kosong di depanku saat aku duduk sendirian di kantin sekolah dan memulai pembicaraan gila kami. Lima bulan mengenalnya membuatku merasa benar - benar mengetahui segalanya tentang dirinya. Tapi tidak. Dia memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan gadis gadis lainnya. Menyapa, tersenyum dan bercanda. Dan, aku benci. Aku benci kenapa aku tidak suka pada sifatnya yang itu. Aku tidak egois, aku memang ingin dia bersifat lebih kepadaku. Aku tidak egois, kan? Tidak. Karena itu hanya KEINGINAN dan keinginan tidak selalu terwujud bukan?

Dan kalau bukan karena materi sains itu, kami tidak akan pernah mengenal. Aku tidak pernah menyesal mengenalnya. Aku hanya menyesal kenapa aku harus jatuh cinta kepada laki - laki seperti dia. Laki - laki yang selalu ingin tahu urusanku-tapi hal ini membuatku senang- dan seperti sekarang ini. Katanya aku harus menunjukkan cowok yang kusuka. Aku tidak mungkin bilang "Lihatlah kecermin!" karena aku masih waras dan aku tidak ingin dia tahu dan menjauhi ku seperti di novel novel patah hati itu. Tapi jika tidak, betapa bodohnya aku saat kelulusan nanti. Aku akan menyesal tentu saja. Apalagi kelulusan tidak lebih dari sewindu lagi.


Jadi, mana yang harus kupilih? Membiarkan dia mengetahuinya dengan resiko dia akan menjaga jarak denganku atau membiarkan rasa ini kupendam sendiri dengan resiko aku akan menyesal.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Bermain Mall World di Facebook

story telling (indonesian's and european's folklore: human security issue)

Review Buku : Other Half of Me - Elsa Puspita