The Last Time


Aku menghentikan langkahku yakin begitu sampai di sebuah kafe kecil di kawasan Regent's Park. Seharusnya aku menemui seseorang pagi ini. Tapi sudahlah, dia membatalkan janjinya beberapa menit lalu saat aku sudah sampai di Regent's Park. Aku langsung saja memesan kopi dan duduk di sudut kafe dengan novel terbaru John Green di tanganku.

Aku sudah yakin dia akan membatalkan janjinya, jadi aku berjaga - jaga untuk membuatku tidak bosan. Sejujurnya, aku benci orang yang membatalkan janji ketika aku sudah akan menghadiri pertemuan itu. Tapi, dia satu - satunya orang yang bisa membuatku tidak mengatakan benci saat dia melakukannya.

 Dia bukan siapa - siapaku. Dia hanya seorang mantan, yang kembali membuatku jatuh cinta kembali setelah aku menemuinya kembali beberapa bulan lalu di .... Jadi aku berterima kasih kepada pekerjaan yang membuatku bertemu kembali dengannya. Kalau bukan karena aku menjadi seorang pramugari di pesawat yang ia tumpangi dan turun di bandara lalu rehat sejenak dari pekerjaanku dan dia mengajakku sarapan saat itu.

Oh, sudahlah, itu hanya kenangan yang membuatku terus terbayang akan dirinya.

Aku menyesap kopiku perlahan lalu menghela nafas panjang. Apa yang ia lakukan sekarang sampai ia membatalkan janji denganku? 

"Permisi nona, kue ini dari pria di sebelah sana,"  ucap salah satu pelayan kafe itu sambil menyerahkan cake berbentuk hati. Romantis, pikirku. Sama seperti awal pertemuanku dan dia. Dia mengirimiku minuman lewat pelayan di sebuah kafe saat aku sedang makan malam bersama teman - temanku. Lalu, dia menyelipkan kartu nama di gelasnya dan aku mencoba menghubunginya untuk mengucapkan terima kasih. Tapi, hubungan itu malah menjadi lebih.

Sampai sekarang, aku tidak tahu apakah dia masih memiliki kekasih atau belum. Atau bahkan dia sudah berkeluarga. Aku takut menanyakannya. Sama seperti aku takut saat tahu aku kembali jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta kepada orang yang ratusan kali melakukan kesalahan, melakukan hal - hal yang kubenci dan menyakiti hatiku. Aku menghela nafas panjang lalu memejamkan mataku. Ya, cinta itu buta. Dan aku percaya. Tapi,  haruskah aku membuka mataku untuk orang lain yang bisa lebih baik darinya dan lebih menerimaku, memperlakukanku seperti aku satu - satunya hal berharga dalam hidupnya?

"Permisi," aku mendongakkan kepalaku, menatap pria yang menurutku seumuran denganku dan kemudian dia tersenyum manis kepadaku. Aku yakin dia pria yang mengirimkan kue itu kepadaku.

Mungkin, inilah saatnya aku menekan perasaanku dalam - dalam kepadanya, jatuh cinta kembali pada orang yang berbeda. Haruskah? Tapi ayolah, orang berubah dan move on bukan. Bukankah itu kesalahannya jika nanti ia menyesal karena ditinggalkan? ;)

 "Things aren’t always what they seem." –Jafar (Aladdin)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Bermain Mall World di Facebook

story telling (indonesian's and european's folklore: human security issue)

Review Buku : Other Half of Me - Elsa Puspita